Perempuan dan Wacana Kolonial dalam Cerita Kriminalitas dan Pelacuran : Kajian terhadap Tjerita Si Riboet atawa Boenga mengandoeng ratjoen (1917) dan Kota Medan Penu dengen Impian atawa Njai tertabur dengen Mas (1928)

Dwi Susanto

Abstract

Tan Boen Kim and Kwee Seng Tjoan were responses to the colonial discourse of Peranakan Chinese men through motifs of crime and prostitution. Both authors present indigenous women as a strategy to deal with colonial discourse. This article is to find out the author's voice and the author's way of developing indigenous women in response to colonial discourse. This problem is seen from a postcolonial feminist perspective. The objects of this research study are these two novels, while the formal objects are colonial discourse and indigenous women presented by male Peranakan Chinese authors. The data are ideas that appear in the two novels, representation of women, and colonial discourse. The data interpretation technique is carried out by deconstructing reading through reversing the binary opposition that appears in the study. The research results show that the voices of indigenous women in these two texts are not their own, but rather the voices of male authors who were dominated by colonial racial politics. As a result, indigenous women were racially constructed as the remaining race in the structure of colonial society. Native women are only objects of misfortune and are burdened with being the guardians of tradition (morality versus liberalism).

 

Abstrak

Tan Boen Kim dan Kwee Seng Tjoan merupakan respon terhadap wacana kolonial dari laki-laki peranakan Tionghoa melalui motif kriminalitas dan pelacuran. Kedua pengarang tersebut menghadirkan perempuan pribumi sebagai strategi menghadapi wacana kolonial. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui suara pengarang dan cara pengarang dalam membangun perempuan pribumi dalam merespon wacana kolonial. Persoalan tersebut dilihat dari sudut padangan feminis pascakolonial. Objek kajian penelitain ini adalah kedua novel tersebut sedangkan objek formalnya adalah wacana kolonial dan perempuan pribumi yang dihadirkan pengarang laki-laki peranakan Tionghoa. Data penelitian ini adalah gagasan yang muncul dalam kedua novel, representasi perempuan, dan wacana kolonial. Teknik interpretasi data dilakukan dengan pembacaan dekonstruksi melalui pembalikan oposisi biner yang muncul dalam kajian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suara perempuan pribumi dalam kedua teks tersebut bukanlah suara mereka, melainkan suara pengarang laki-laki yang terhegomoni politik rasial kolonial. Sebagai akibatnya, perempuan pribumi dibangun secara rasial sebagai ras yang tersisa dalam struktur masyarakat kolonial. Perempuan pribumi hanya sebagai objek kemalangan dan dibebani sebagai penjaga tradisi (moralitas versus liberalisme).

Keywords

wacana kolonial; perempuan pribumi; laki-laki peranakan Tionghoa

Full Text:

PDF

References

An, P. K. (1935). Djodo Jang Terpaksa. Tjerita Roman, 117.

Bose, B., & Gandhi, L. (2000). Postcolonial Theory: A Critical Introduction. World Literature Today. https://doi.org/10.2307/40155562

Daniels, T. P. (2022). Blackness in Indonesia: Articulations of Colonial and Postcolonial Racial Epistemologies. Ethnos, 89(4), 657-678. https://doi.org/https://doi.org/10.1080/00141844.2022.2081239

Dhakidae, D. (2000). Politik Kebudayaan Negara dan Kebudayaan Politk Kaum Cina Peranakan. In Makalah Seminar Orang Tionghoa-Indonesia: Manusia dan Kebudayaannya.

Faruk. (2012). Metode Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar.

Gernet, J. (2002). A History of Chinese Civilization. Cambridge University Press.

Hellwig, T. (1996). Gramer Brinkman de mordenaar van Fientje de Fineks; Maleise Literire teksten. Indisch Letteren, 11(1), 2-15.

Hellwig, T. (2007). Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (perjemah; Mien Joebhaar (ed.)). Yayasan Obor Indonesia.

Honings, R. (2022). 'Kampong Smells', Guna-guna and 'Indigenous Perkaras.' Dutch Crossing, 46(2), 115-132. https://doi.org/10.1080/03096564.2020.1777810

Hoogervorst, T. G. (2023). Chineseness in Sino-Malay printing: a triptych of self-criticism. Inter-Asia Cultural Studies, 24(4), 678-693. https://doi.org/https://doi.org/10.1080/14649373.2023.2221496

Izharuddin, A. (2019). The New Malay Woman's jiwa as a Postcolonial Structure of Feeling. Journal of Intercultural Studies, 40(4), 491-503. https://doi.org/https://doi.org/10.1080/07256868.2019.1628720

Kartodirjo, S. (1990). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Gramedia.

Lewis, R., & Mills, S. (2003). Feminist Postcolonial Theory: A Reader. (R. Lewis & S. Mills (eds.)). Edinburgh University Press Ltd.

https://doi.org/10.1515/9781474470254

Maier, H. (1993). Beware and reflect, remember and recollect: Tjerita Njai Soemirah and the emergence of Chinese Malay literature in the Indies. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 149(2), 274-297.

https://doi.org/10.1163/22134379-90003127

Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda.

Nas, P., & Suryochondro, S. (1978). Classic Essays on the City in Indonesia. Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia.

Prasojo, A., & Susanto, D. (2015). "Konstruksi identitas dalam sastra terjemahan Eropa era 1900-1930 dan reaksinya dalam sastra Indonesia. Humaniora: Jurnal Budaya, Sastra, Dan Bahasa, 2(3), 269-282. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jh.v27i3.10588.

Russida, C. A. (2024). Wacana Kolonial, Pascakolonial, dan Ketionghoaan dalam Perempuan Bernama Arjuna 6 dan Boenga Roos dari Tjikembang. Arif: Jurnal Sastra Dan Kearifan Lokal, 4(1), 133-148. https://doi.org/https://doi.org/10.21009/Arif.041

Salmon, C. (1981). Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a provisional annotated bibliography: Editions de la Masion des Sciences de l'Homme.

Salmon, C. (1996). Masyarakat Pribumi Indonesia di Mata Penulis Keturunan Tionghoa (1920-1941). In L. Suryadinata (Ed.), Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. Grasindo.

Sanders, M. (2006). Gayatri Chakravorty Spivak: Live Theory. In Gayatri Chakravorty Spivak: Live Theory. https://doi.org/10.5860/choice.44-4303

Setiawan, R. (2018). Subaltern, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak. Poetika, 6(1). https://doi.org/10.22146/poetika.v6i1.35013

Spivak, G. C. (1988). "Can the Subaltern Speak?" In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of Culture (pp. 271-313). University of Illinois Press.

Sumardjo, J. (1992). Lintasan sastra Indonesia modern Jilid I. PT Citra Aditya Bakti.

Susanto, D. (2015). "Masyarakat peranakan Tionghoa dalam karya-karya Tan Boen Kim. Nuansa Indonesia, Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Filologi., 8(1), 81-97.

Susanto, D. (2017). Chinese society as depicted in early twentieth century Chinese-Malay literature. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, 18(1), 256-265. https://doi.org/10.17510/wacana.v18i1.580.

Susanto, D. (2019). Narasi Kriminalitas dan Kisah Percintaan dalam Novel Tjerita Nona Gan Jan Nio Atawa Pertjinta'an Dalem Rasia (1914) Karya Tan Boen Kim: Kajian Pascakolonial. Adabiyyāt, 3(2), 213-230.

https://doi.org/10.14421/ajbs.2019.03204

Susanto, D., & Ardianto, D. T. (2021). Njoo Cheong Seng: An Artist in the Fight between Liberalism and Eastern Traditions. Wacana Seni Journal of Arts Discourse, 20, 15-26. https://doi.org/. https://doi.org/10.21315/ws2021.20.2

Sutrisno, E. (2017). Moral is political, Nations of ideal citizenship in Lie Kim Hok's Hikajat Khonghoetjoe. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, 18(1), 183-215. https://doi.org/10.17510/wacana.v18i1.577

Sykorsky, W. (1980). Some Additional Remarks on the Actencedents of Modern Indonesian Literature. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 136.

https://doi.org/10.1163/22134379-90003521

Tan, O. H. Sen. (1932). Kesopanan Timoer. Tjerita Roman.

Tiang, S. K. (1935). Nona Bing Nio. Penghidoepan.

Tjoan, K. K. (2003). Kota Medan penu Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas. In Marcus A.S. dan Yul Hamiyati (Ed.), Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 7 (pp. 263-398). Kepustakaan Populer Gramedia.

White, S. (2004). The case of Nyai Anah, concubinage, marriage and reformist Islam in late colonial Dutch East Indies. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 38(1), 87-97.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.